Selasa, 16 Desember 2014

Budaya Minangkabau dibangun di atas Peta Realitas




Budaya Minangkabau  dibangun  di atas  Peta Realitas, yakni Adat yang bersendi kepada “Nan Bana”, direkam lewat bahasa lisan berupa pepatah, petatah petitih, mamang, bidal, pantun, yang dikenal sebagai Kato Pusako  yang menjadi rujukan di dalam penerapan perilaku  masyarakat Minangkabau. 

Para filsuf dan pemikir Adat Minangkabau meletakkan landasan filosofis Adat Minangkabau atas dasar pemahaman yang mendalam tentang bagaimana bekerjanya alam semesta serta dunia ini termasuk manusia dan masyarakatnya, yang diungkap dalam ”kato” yang menjadi mamangan masyarakatnya, melahirkan Fatwa adat menyebutkan ;
“Alang tukang tabuang kayu, Alang cadiak binaso adat, Alang alim rusak agamo, Alang sapaham kacau nagari. Dek ribuik kuncang ilalang, Katayo panjalin lantai, Hiduik jan mangapalang, Kok tak kayo barani pakai. Baburu kapadang data, Dapeklah ruso balang kaki, Baguru kapalang aja, Bak bungo kambang tak jadi”. 



Filsul dan pemikir yang merenda Adat Minangkabau  telah mengakui dan memahami keberadaan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo, dan menjadikan alam semesta menjadi ”ayat dari Nan Bana” atau ayat kauniyah yang membimbing kepada kesadaran kolektif berupa Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH) masyarakat Minangkabau yang memengaruhi sikap umum dan tata-cara pergaulan, adat istiadat yang lebih dikenal sebagai Adat nan Diadatkan dan Adat nan Taradat.  

Salah satu keunggulan dinamika agama dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan adalah penguatan peran perkerabatan dalam implementasi tatanan adat budaya Minangkabau. Ajaran syarak (Islam) mendorong sikap untuk maju. Namun tatanan nilai yang baik itu dapat berubah karena longgar menjaga tatanan adat istiadat. Rapuhnya akhlak anak generasi  akan merusak bangunan  kehidupan. Budaya Minangkabau membentuk generasi nan kuriek kundi nan sirah sago, nan baik budi nan indah baso. 

Urgensi Ajaran Islam sesuai sabda Rasul Allâh SAW mengingatkan bahwa, "Ada tiga faktor membinasakan manusia yaitu mengikuti hawa nafsu, kikir yang melampaui batas dan mengagumi diri sendiri (‘ujub)." (HR. al-Tirmidziy).  

Pengabaian pesan Rasulullah ini akan menumbuhkan penyakit social yang kronis. Penyakit Masyarakat ini menjadi lebih parah karena umat menjauh dari aqidah tauhid sehingga tumbuh perilaku tidak berakhlak Islami serta suka melalaikan ibadah. Solusi sebenarnya dari beban permasalahan besar ini hanya mengupayakan Pendidikan dengan pengenalan  Iman dan Akhlaq Qurani serta penguatan peran perkerabatan dalam implementasi tatanan adat budaya Minangkabau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar